Kesenian dan budaya banyumasan

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinis. Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Perubahan kebudayaan antara lain difusi yaitu suatu proses menyebarnya unsur-unsur dari satu kelompok ke kelompok lain atau dari satu masyarakat ke masyarakat lain, asimilasi yaitu proses perubahan kebudayaan secara total akibat membaurnya kebudayaan atau lebih sehingga kebudayaan aslinya hilang/tak tampak lagi, sedangkan akulturasi adalah proses percampuran kebudayaan tanpa menghilangkan aslinya. Persebaran kebudayaan meliputi internalisasi ( proses belajar yang dilakukan sejak lahir sampai mati), sosialisasi ( proses belajar karena ada kebersinggungan dengan orang lain), enkulturasi (proses belajar kebudayaan yang berkaitan dengan sistem norma yang belaku, 7 kebudayaan universal yaitu:
1.      Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transpor dan sebagainya)
2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).
3. Sistem kemasyarakatan (sistern kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).
4. Bahasa (lisan maupun tertulis).
5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
6. Sistem pengetahuan.
7. Religi (sistem kepercayaan)
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu kebudayaan Ebeg dan bagaimana analisisnya?
2.      Apa dan bagaimana mengenai Batik Banyumas dan analisisnya?
3.      Bagaimana sistem kemasyarakatan di daerah Banyumas dan bagaimana analisisnya?
4.      Bagaimana bahasa Ngapak di Banyumas dan analisinya?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui kebudayaan Ebeg dan analisisnya
2.      Mengetahui Batik Banyumas dan analisisnya
3.      Mengetahui sistem kemasyakatan di daerah Banyumasan
4.      Mengetahui penggunaan bahasa Ngapak di Banyumas dan analisisnya

D.    Manfaat
Dapat memberikan informasi-informasi mengenai faktor persebaran kebudayaan dan perubahan kebudayaan yang ada di Banyumas, yang meliputi faktor sosialisasi, akulturasi dan difusi  serta keterkaitannya dengan salah satu unsur dari ketujuh unsur kebudayaan universal menurut pandangan Koentjoroningrat.




















BAB II
PEMBAHASAN


1.                  Ebeg
  Ebeg' adalah jenis tarian rakyat yang berkembang di wilayah Banyumasan. Varian lain dari jenis kesenian ini di daerah lain dikenal dengan nama kuda lumping atau jaran kepang, ada juga yang menamakannya jathilan (Yogyakarta) juga reog (Jawa Timur) namun di wilayah Kecamatan Tambak (Wilayah Kabupaten Banyumas bagian selatan) lebih dikenal dengan nama "ebeg". Tarian ini menggunakan “ebeg” yaitu anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan diberi kerincingan. Penarinya mengenakan celana panjang dilapisi kain batik sebatas lutut dan berkacamata hitam, mengenakan mahkota dan sumping ditelinganya. Pada kedua pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang-gelang kerincingan sehingga gerakan tangan dan kaki penari ebeg selalu dibarengi dengan bunyi kerincingan. Jumlah penari ebeg 8 oarang atau lebih, dua orang berperan sebagai penthul-tembem, seorang berperan sebagai pemimpin atau dalang, 7 orang lagi sebagai penabuh gamelan, jadi satu grup ebeg bisa beranggotakan 16 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg sedangkan penthul-tembem memakai topeng. Tarian ebeg termasuk jenis tari massal, pertunjukannya memerlukan tempat pagelaran yang cukup luas seperti lapangan atau pelataran/halaman rumah yang cukup luas. Waktu pertunjukan umumnya siang hari dengan durasi antara 1 – 4 jam. Peralatan untuk Gendhing pengiring yang dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong dan terompet. Selain peralatan Gendhing dan tari, ada juga ubarampe (sesaji) yang mesti disediakan berupa : bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda (dewegan),jajanan pasar,dll. Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti ricik-ricik, gudril, blendrong, lung gadung,eling-eling,( crebonan), dan lain-lain. Yang unik, disaat pagelaran, saat trans (kerasukan/mendem) para pemainnya biasa memakan pecahan kaca (beling) atau barang tajam lainnya, mengupas kelapa dengan gigi, makan padi dari tangkainya, dhedek (katul), bara api, dll. sehingga menunjukkan kekuatannya Satria, demikian pula pemain yang manaiki kuda kepang menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan cepet. Dalam pertunjukannya, ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe.

·         Analisis Kebudayaan Ebeg sesuai dengan Perubahan dan Persebaran  Kebudayaan:

Seiring dengan berjalannya waktu dan adanya arus modernisasi maupun globalisasi membawa dampak besar bagi perubahan-perubahan yang ada di Indonesia bahkan di dunia. Tidak hanya membawa pengaruh yang besar  pada bidang ekonomi saja tetapi juga membawa pengaruh di bidang-bidang yang lain, seperti di bidang kebudayaan. Contohnya saja di Indonesia, terjadi proses akulturasi seolah-olah kebudayaan asli Indonesia bercampur dengan adanya pengaruh-pengaruh dari luar yang menyebabkan lingkungannya berubah kemudian membuat orang mempunyai ide atau gagasan yang baru terhadap suatu hal yang baru sehingga menyebabkan orang mempunyai pandangan yang baru.
Kebudayaan “Ebeg” ada salah kebudayaan yang ada di wilayah banyumas. Baik dari kesakralan budaya ebeg, fungsi ebeg itu sendiri,  pakaian ebeg yang digunakan oleh pemain hingga tata cara pelaksanaan ebeg mengalami perubahan dan persebaran. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor salah satunya adalah perubahan lingkungan yang menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Sebab lain karena pengaruh dari luar atau kontak dengan bangsa lain yang mungkin menyebabkan diterimanya gagasan “asing” yang menyebabkan orang berpikir tentang suatu gagasan atau pandangan yang baru.
Kebudayaan “Ebeg”  yang ada di daerah Banyumas kian lama kian berubah fungsi. Ini karena terjadi proses sosialisasi, proses belajar karena bersinggungan dengan orang lain. Jika dulu berfungsi sebagai kegiatan ritual adat yang berhubungan dunia magic atau interaksi dengan roh. Kini berbeda, Kebudayaan Ebeg berfungsi bukan hanya masyrakat antusias terhadap kebudayaan sendiri tetapi unjuk kebolehan magic dan arena adu ilmu oleh remaja. Maksudnya jika dalam acara ebeg hampir semua penontonnya adalah laki-laki. Laki-laki tersebut baik dari usia tua, dewasa, muda bahkan anak-anak sengaja menonton karena tujuan lain yaitu ingin mengeluarkan indang yang ada di dalam jiwa mereka. Indang adalah arwah leluhur atau ilmu yang di isikan ke tubuh istilah jawanya isen isen, jika kesurupan akan menyerupai macan, monyet dan lain-lain. Bergantung indang yang di isikan. Dampaknya banyak anak kecil yang gila gindang. Ironisnya, indang tersebut di perjual belikan sekitar harga dua puluh ribu per indang.
Mengingat  arus modernisasi yang kian lama kian begitu kuat di masyarakat terlihat dari generasi-generasi muda sekarang ini lebih menyukai lagu maupun jogetan ala asing untuk itu agar kesenian ebeg tetap eksis di masyarakat kini acara ebeg di pertontonkan di berbagai acara, baik di acara hajatan maupun acara resmi tujuannya agar masyarakat tetap menyukai dan menggemari kebudayaan sendiri. Berkembangnya arus modernisasi memudahkan manusia untuk melakukan segala hal. Mengenai  pakaian yang dikenakan oleh seorang ebeg kini pun tak kalah ketinggalan dengan stylish masa kini. Kacamata yang dikenakan oleh seorang pemain ebeg merupakan tanda adanya modernisasi.
Secara filosofis masing-masing alat musik yang digunakan dalam mengiringi tari kuda lumping juga memiliki makna yang berbeda, kendang berbunyi ndang…ndang…tak…ndlab mempunyai makna yen wis titiwancine ndang-ndango mangkat ngadeb marang pengeran yang mempunyai arti kalau sudah waktunya cepat-cepat bangun menghadap tuhanmu, dalam melakukan ibadah jangan suka ditunda-tunda kenong ……. Slompret ……. Gong …….. namun karena akulturasi musik yang digunakan bukan hanya lagu-lagu jawa namun juga lagu-lagu yang sedang ngetrend di kalangan masyarakat.  



2.                    Batik Banyumas

http://senatek.ump.ac.id/images/stories/batik.jpg     Batik banyumas tidak terlepas dari pengaruh budaya seperti, Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan. Secara pasti asal mulai batik banyumas memang belum bisa dilacak, tetapi menurut para sesepuh penggiat batik banyumas, dapat kita ketahui bahwa batik banyumas muncul akibat adanya kademangan-kademangan di daerah Banyumas dan para pengikut pangeran diponegoro yang tinggal di sekitar Banyumas.
Batik banyumas sendiri identik dengan motif Jonasan, yaitu kelompok motif non-geometrik yang didominasi oleh warna dasar kecoklatan dan hitam. Warna coklat karena soga, sedangkan warna hitam karena  wedel. Motif-motif yang berkembang sekarang ini antara lain, sekarsurya, sidoluhung, lumbon, jahe pugor, cempaka mulya, kawung jenggot, madu bronto, satria busana, dan piring sedapur.
Seperti batik yang berasal dari daerah lain, para pengrajin batik banyumas terus melakukan inovasi dan kreasi agar menghasilkan motif yang baru dan tetap bisa diterima oleh pasar tanpa kehilangan identitasnya. Jika kita lihat berdasarkan bahannya, batik banyumas berasal dari bahan mori sen, dobri, sutera, dan paris. Sedangkan, jika kita lihat berdasarkan proses pembuatannya ada yang cap dan juga ada yang tulis. Batik cap lebih murah dan pembuatannya lebih cepat, sedangkan batik tulis karena proses pembuatannya juga yang lebih sulit dan lama, membuat batik ini punya "kelas tersendiri".
Desa Sokaraja Kulon (Jakulon), Kecamatan Sokaraja, kini secara perlahan mulai dikenal sebagai kampung batik khas Banyumas. Meski belum sepenuhnya mencirikan sebagai pusat segala aktivitas perbatikan, namun semangat dan kerja nyata yang dilakukan warga setempat secara bertahap sudah menuai hasil. Konsep kampung batik yang ditawarkan tak sekadar memamerkan hasil produk para perajin batik, tapi gagasan besar ke depan adalah pengunjung akan disuguhi aneka ragam dinamika ’’masyarakat batik’’ yang menunjang pengembangan kerajinan batik lokal dan dipadu dengan wisata lain seperti kuliner dan kerajinan aneka makanan ringan.
Gagasan membentuk kampung batik awalnya karena desa tersebut dinilai baik dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP).


·         Analisis Batik Banyumas:
            Kebudayaan batik banyumas muncul karena proses sosialisasi, yaitu proses bersinggungan dengan kebudayaan luar. Batik banyumas memang muncul tak terlepas dari pengaruh luar seperti Yogyakarta, Solo dan Pekalongan. Motif batik banyumas pun beraneka ragam. Para penggiat batik banyumas melakukan inovasi terhadap motif-motif batik di kota lain tanpa menghilangkan motif aslinya, hal ini sesuai dengan perubahan kebudayaan yaitu proses akulturasi.
3.                  Sistem Organisasi Kemasyarakatan dan Sistem Pengetahuan
              Kabupaten Banyumas memiliki perguruan tinggi negeri Universitas Jenderal Soedirmandan STAIN Purwokerto, yang berada di kota Purwokerto. Selain itu ada pula universitas swasta yakni dan STMIK Widya Utama Purwokerto. Kabupatem Banyumas juga mempunyai paguyuban-paguyuban mahasiswa di beberapa Universitas di Indonesia, salah satunya adalah Clubban UI, yang merupakan paguyuban mahasiswa asal Banyumas di Universitas Indonesia, Gama Satria Banyumas yang merupakan Gabungan Mahasiswa Unnes yang berasal di Semarang.  Ada juga Perguruan Tinggi Negeri di bidang kesehatan yaitu Poltekkes Kemenkes Semarang yang mempunyai dua kampus terpadu, yaitu "Kampus 7 Poltekkes Kemenkes Semarang "yang bertempat di Jalan Raya Baturaden KM 12, dan "Kampus 8 Poltekkes  Kemenkes Semarang" yang berada di Jalan Adipati Mersi Purwokerto Timur.
4.                  Bahasa Ngapak Banyumasan
Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak (oleh masyarakat diluar Banyumas) adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah Jawa Tengah. Beberapa kosakata dan Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan.
Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur. Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan.
Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.
Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan oleh masyarakat diluar Banyumas disebut sebagai bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
·         Analisis bahasa Ngapak di Banyumas:  
Proses transfer bahasa terjadi karena adanya proses sosialisasi. Sosialisasi merupakan sebuah proses seumur hidup dimana seorang individu mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang meliputi cara-cara hidup, nilai-nilai, dan norma-norma sosial yang terdapat dalam masyarakat agar dapat diterima dan berpartisipasi efektif dalam masyarakat.
 Media sosialisasi adalah: keluarga, teman sepermainan, sekolah yang merupakan media sosialisasi sekunder adalah tempat pekerjaan, masyarakat umum yang merupakan media sosialisasi sekunder yang dominan terhadap proses pembentukan kepribadian, dan media masa. Proses sosialisasi itu sendiri adalah suatu proses dimana seorang individu mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan kelakuan kelompoknya. Semenjak lahir seorang anak sudah melakukan proses sosialisasi, baik dengan orang tuanya sendiri maupun orang lain. Proses sosialisasi tersebut menghasilkan suatu bentuk tiruan dimana nantinya apa yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa akan ditirukannya oleh anak-anak. Contohnya adalah bahasa. Orang banyumas sudah terbiasa menggunakan bahasa ngapak sebagai alat komunikasinya maka secara tidak langsung dan lambut laun penggunaan bahasa ngapak tersebut juga menjadi kebiasaan bagi anak-anaknya untuk melakukan proses komunikasi.















BAB III
          PENUTUP


A.                Kesimpulan

1.                  Ebeg
            Ebeg' adalah jenis tarian rakyat yang berkembang di wilayah Banyumasan. Tarian ini menggunakan “ebeg” yaitu anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan diberi kerincingan. Penarinya mengenakan celana panjang dilapisi kain batik sebatas lutut dan mengenakan mahkota dan sumping ditelinganya
Analisis:
Kebudayaan “Ebeg” ada salah kebudayaan yang ada di wilayah banyumas. Baik dari kesakralan budaya ebeg, fungsi ebeg itu sendiri,  pakaian ebeg yang digunakan oleh pemain hingga tata cara pelaksanaan ebeg mengalami perubahan dan persebaran. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor salah satunya adalah perubahan lingkungan yang menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif.

2.                  Batik Banyumas
Batik banyumas tidak terlepas dari pengaruh budaya seperti, Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan. Secara pasti asal mulai batik banyumas memang belum bisa dilacak, tetapi menurut para sesepuh penggiat batik banyumas, dapat kita ketahui bahwa batik banyumas muncul akibat adanya kademangan-kademangan di daerah Banyumas dan para pengikut pangeran diponegoro yang tinggal di sekitar Banyumas.
Analisis:
Kebudayaan batik banyumas muncul karena proses sosialisasi, yaitu proses bersinggungan dengan kebudayaan luar.

3.                  Sistem Kemasyarakatan dan Sistem Pengetahuan
Di banyumas sendiri terdapat banyak sekolah maupun kursus untuk mendapat ilmu pengetahuan hingga pada tingkat perguruan tinggi seperti Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Wijaya Kusuma,Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Bina Sarana Informatika, Amikom, dan lain-lain. Tak hanya itu, mahasiswa yang bersekolah diluar kota Purwokerto mereka tetap bangga dengan daerah asalnya untuk itu mereka membentuk organisasi daerah asal seperti Clubban UI, Gama Satria Banyumas, dan lain-lain.


4.                  Bahasa Ngapak Banyumasan
Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak (oleh masyarakat diluar Banyumas) adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah Jawa Tengah.

Analisis:
Proses transfer bahasa terjadi karena adanya proses sosialisasi. Orang banyumas sudah terbiasa menggunakan bahasa ngapak sebagai alat komunikasinya maka secara tidak langsung dan lambut laun penggunaan bahasa ngapak tersebut juga menjadi kebiasaan bagi anak-anaknya untuk melakukan proses komunikasi.

B. Saran






Komentar

  1. Asli Banyumas ? Keren ya :D suka sama uniknya logat Banyumasan hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Firasat - Dewi Lestari

Peluk - Dewi Lestari

Analisis Sastra Anak